Penderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dalam Perspektif Hukum Pidana

Penderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dalam Perspektif Hukum Pidana

Abdusy Syakir., SH., MH., CLA., CRA., CIL., CM--dok/radarlebong

Berdasarkan pasal diatas jelas bahwa dalam proses penanganan perkara ini demi kepentingan penyidikan tentu Penyidik harus melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa pelaku ke instansi kesehatan yakni Rumah Sakit Jiwa dan secara tehnis akan akan ditangani oleh satu tim kesehatan yang terdiri dari antara lain, Psikiater, psikolog, dokter, perawat  dan lainnya selama lebih kurang 14 hari masa observasi.

Dari hasil observasi tersebut (berupa Visum Et Repertum Psychiatricum) akan diketahui apakah pelaku dapat dikategori sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa  (ODGJ) atau tidak, jika hasilnya menyatakan bahwa pelaku benar mengalami gangguan jiwa maka hal ini dapat dipergunakan oleh Penyidik dalam proses penanganan perkara baik sebagai bukti surat ataupun keterangan ahli sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP.

Oleh karena tahapan penyidikan masih berada pada pihak penyidik kepolisian, maka berdasarkan kewenangannya sesuai ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, setelah dilakukan gelar perkara berdasarkan hasil penyidikan Penyidik dapat menghentikan perkara dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) didasarkan antara lain pada ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”,  dan perkara ditutup serta tidak berlanjut ke proses penuntutan dan persidangan.

  • Dalam Perspektif Rasa Keadilan

Menilik ketentuan pada UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa Indonesia secara konseptual adalah merupakan Negara hukum, sehingga Hukum diajadikan sebagai Panglima dalam tataran implementasi berbangsa dan bernegara, oleh karenanya secara umum setidaknya ada 3 tujuan dari hukum yakni kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum sehingga dari ketiga tujuan hukum diatas maka keadilanlah yang menjadi tujuan utama hukum  dibandingkan  kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

Dalam konteks ini Penulis berpendapat bahwa harus ada keadilan yang dirasakan atau sense of justice khususnya bagi keluarga korban, meskipun adil bagi korban atau keluarga belum tentu adil bagi pelaku atau keluarganya karena keadilan itu bersifat abstrak. Mencoba memahami dan merasakan hal yang saat ini dialami oleh korban atau keluarganya, tentu mereka berharap pelaku diproses sesuai ketentuan yang berlaku dengan penggunaan instrumen hukum yang pada akhirnya berkekuatan tetap atau inkracht, karena sejatinyapun proses penggunaan instrumen hukum tidak akan mengembalikan korban pada kondisi seperti sediakala.

Dalam persepektif terpenuhinya rasa keadilan khususnya bagi korban atau keluarga, Penulis berpendapat Penyidik kepolisian melimpahkan perkara ini ke proses penuntutan dan persidangan meskipun kewenangan penyidik kepolisian hanya terbatas ketika perkara telah dilimpahkan kepada Penuntut Umum dan dinyatakan P21 sehingga tugas berikutnya berada di Penuntut Umum hingga proses persidangan.

Pelimpahan perkara ini dimaksudkan agar proses hukum dapat bermuara pada sebuah keputusan Pengadilan yang mendasarkan pada fakta, bukti, saksi yang ada sehingga Majelis Hakim dapat memberikan satu keputusan yang diharapkan menghadirkan rasa keadilan yang berkepastian hukum khususnya bagi korban atau keluarganya serta menjaga ketertiban didalam masyarakat.       

Proses persidangan yang ada (lazimnya) tidaklah harus dimaknai bahwa Jaksa Penuntut Umum akan selalu menuntut hukuman terhadap pelaku (Terdakwa) namun dapat saja menuntut agar terhadap Terdakwa dinyatakan terbukti memenuhi unsur pasal melakukan perbuatan pidana melakukan penganiayaan serta mengakibatkan hilangnya nyawa korban dan meminta agar dilakukan rehabilitasi dengan menempatkan pada Rumah Sakit Jiwa guna memulihkan kejiwaan yang bersangkutan jika benar dalam proses pembuktian terdapat hasil observasi yang menyatakan bahwa pelaku mengalami gangguan kejiwaan.

Terhadap itu Majelis Hakim dapat mempertimbangkan penggunaan Pasal 44 KUHP dengan memberikan putusan yang pada pokoknya berdasarkan fakta persidangan bahwa benar terbukti dan terpenuhinya unsur pasal sebagaimana tuntutan JPU akan tetapi terdapat alasan penghapus pidana berdasarkan bukti, baik berupa keterangan ahli dan Visum Et Repertum Psychiatricum bahwa Terdakwa mengalami gangguan jiwa dan tidak dapat dipidana dan melepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) serta memerintahkan agar ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa untuk menjalani rehabilitasi/pemulihan. 

 

OPSIONAL PENYELESAIAN

Dari 2 (dua) perspektif diatas, secara prinsip Penulis cenderung mengambil pilihan perspektif kedua yakni Rasa Keadilan dalam melihat penanganan perkara ini, tentu dengan didasarkan pada pertimbangan (subjektif) antara lain :

a. Bahwa yang dapat menyatakan seseorang benar atau salah adalah Hakim melalui putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), hal ini selaras dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence);

b. Bahwa pada sisi kepentingan korban atau keluarganya setidaknya dapat mengurangi rasa marah dan sedih akibat perbuatan pelaku dan menilai secara jelas serta objektif bahwa hukum tetap ditegakan tanpa pandang bulu, dimana terhadap perbuatan pelaku telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar namun karena pelaku merupakan penderita gangguan kejiwaan maka berdasarkan hukum pula ia tidak dapat dipidana karena adanya alasan penghapus pidana sesuai Pasal 44 KUHP;

c. Bahwa dengan adanya putusan inkracht dapat mengeliminir adanya upaya hukum yang mungkin dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dan dirugikan terhadap penghentian penyidikan oleh penyidik baik itu berupa penghentian perkara bisa juga terhadap penetapan pelaku sebagai Tersangka pada tahap penyidikan;

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: