(Sebuah Pandangan Pada Kasus Pembunuhan dan Penganiayaan oleh ODGJ di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu)
Oleh: Abdusy Syakir *“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana” Adami Chazawi dalam Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2.
PENGANTAR
Sebagai prakata tulisan ini hanya berupa opini personal yang tidak dimaksudkan untuk men-justifikasi salah satu pihak benar atau salah karena proses hukum saat ini masih berlangsung oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal ini pihak Kepolisian Resort Kepahiang, namun lebih pada mencoba memberikan pandangan atau analisis atas peristiwa pidana yang kebetulan pelaku adalah orang yang duga mengalami gangguan kejiwaan dalam terminologi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dikenal dengan istilah ODGJ atau Orang Dengan Gangguan Jiwa.
Mengutip pemberitaan di media beberapa hari lalu salah satunya dari TribunNews.Com Bengkulu, salah seorang yang diduga mengalami ODGJ atau Orang Dengan Gangguan Jiwa di Kepahiang berinisial Ro umur 42 tahun mengamuk dan melakukan perbuatan berupa penganiayaan dan pembunuhan terhadap warga di Simpang Kota Bingin pada Sabtu malam 23 Maret 2024 sehingga mengakibatkan setidaknya 1 orang meninggal dunia dan 2 orang lainnya mengalami luka-luka sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.
ANALISIS
Mengikuti perkembangan kasus ini setidaknya dalam konteks pemberitaan media beberapa hari terakhir, memunculkan berbagai pertanyaan publik, apakah benar pelaku mengalami gangguan kejiwaan, apakah benar pelaku masih memiliki hubungan keluarga, apa motif sehingga pelaku melakukan perbuatan pidana, dan lain sebagainya.
Dari pertanyaan tersebut menurut penulis setidaknya ada satu pertanyaan penting yang mungkin mesti mendapatkan jawaban terlepas apapun cerita dan motif pelaku yakni apakah terhadap pelaku Ro dapat dibebaskan menurut hukum ???
Untuk menjawab pertanyaan ini setidaknya ada 2 perspektif yang dapat digunakan yaitu pertama dalam perspektif hukum formal dan kedua dalam perspektif rasa keadilan khususnya bagi keluarga korban yang meninggal dunia. Tentunya semua akan terjawab setelah pihak kepolisian selesai dan tuntas menangani perkara ini dengan mempertimbangkan fakta, bukti-bukti serta saksi yang ada.
Bahwa beranjak dari asumsi sejak dari kejadian hingga saat ini, pelaku telah diamankan oleh pihak penyidik telah melebihi 1x24 jam maka status dari pelaku secara hukum telah menjadi Tersangka apalagi beberapa barang bukti telah diamankan dan korban pun telah diketahui identitasnya termasuk beberapa saksi telah dimintakan keterangan.
Bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang dimaksud dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Oleh karenanya untuk memastikan informasi yang berkembang sebelumnya apakah pelaku merupakan penderita gangguan jiwa sebagaimana dimaksud diatas, mendasarkan pada ketentuan Pasal 71 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa disebutkan “ untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang diduga ODGJ yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan Jiwa” hal ini sangat penting baik bagi Penyidik atau pihak berkepentingan lainnya karena mengacu ayat berikutnya disebutkan bahwa “Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan untuk : a. menentukan dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukan; dan/atau b. menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan”.
Berdasarkan pasal diatas jelas bahwa dalam proses penanganan perkara ini demi kepentingan penyidikan tentu Penyidik harus melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa pelaku ke instansi kesehatan yakni Rumah Sakit Jiwa dan secara tehnis akan akan ditangani oleh satu tim kesehatan yang terdiri dari antara lain, Psikiater, psikolog, dokter, perawat dan lainnya selama lebih kurang 14 hari masa observasi.