Lim Xiao Ming

Lim Xiao Ming

Saya kenal lama dengan Herman Halim. Puluhan tahun. Sejak kantor kami sama-sama di Jalan Kembang Jepun. Ia sumber berita bagi wartawan Surabaya. Jabatannya: ketua Persatuan Bank-bank Swasta Nasional Surabaya. Saya sering diskusi ekonomi dengannya. 

Herman juga menjadi ketua Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya –sekarang menjadi Universitas Hayam Wuruk. Saya sering senam dansa di halaman kampus itu –yang lama maupun yang kampus baru. 

Ketika Alim Markus mendirikan Bank Maspion, Herman Halim diminta menjadi direktur utama bank itu. Sampai meninggalnya. 

Sebenarnya ia akan pensiun tahun ini. Bukan saja sudah berumur 70 tahun, tapi juga karena bank itu sudah dijual. Dibeli bank swasta dari Thailand. Proses pembelian itu tidak mudah. Tapi akhirnya selesai. Bulan lalu. Tuntas. Alim Markus dapat untung banyak. Herman Halim bisa mengakhiri pengabdiannya dengan baik.

Dan ternyata ia juga mengakhiri hidupnya. Dengan husnul khatimah –Insya Allah.

Saya pikir jenazahnya akan dikremasi di Singapura. Saya tanyakan itu ke putranya. "Tidak dikremasi," jawab Lim Qing Hai lewat WA. "Akan dimakamkan secara Islam di pemakaman Islam Singapura," tambahnya.

Lim Qing Hai biasa dipanggil Andrew. Andrew Lim. Rupanya Andrew mengalami kesulitan soal pemakaman itu. Hanya yang warga Singapura yang boleh dikubur di sana. Atau pemegang permanen resident. Atau keluarga langsung mereka. Tanah begitu terbatas. 

Akhirnya jenazah dibawa ke Jakarta. Dimakamkan di Jakarta.

Untuk teman-teman Surabaya bisa  melayat ke rumah duka. Masjid Cheng Ho telah ditetapkan sebagai rumah duka almarhum. Bambang Suyanto (柳民源 /Liu Min Yuan), pengusaha besar yang juga pendiri masjid Cheng Ho sebagai tuan rumah. Karangan bunga memenuhi kawasan masjid itu. Peziarah juga antre mengucapkan kata duka. Saya telat datang dari Samarinda.

Saya baru bertemu Andrew saat tahlilan ketujuh hari Jumat malam kemarin. Ia benar-benar masih sulit berbahasa Indonesia. Sejak umur 6 tahun Andrew sudah di  Australia. Bersama kakak-kakak dan mamanya. Ia tumbuh menjadi anak-anak di Perth.

"Di sana saya jadi anak nakal," katanya lantas tertawa. Ia begitu sering membolos sekolah. Sampai dikeluarkan dari SMA.

Ia memang selalu berangkat dari rumah mengenakan seragam sekolah. Tapi sering turun dari bus di halte sebelumnya. Untuk pindah bus jurusan mal.

Andrew tidak mau lama-lama di halte bus. Takut ditangkap polisi. Pada jam sekolah kok masih berkeliaran. Maka ia sering menyeberang jalan dulu. Mondar-mandir di pinggir jalan, menghabiskan waktu.

Suatu hari Andrew dipanggil seorang pemilik rumah di dekat  jalan itu. "Sini, masuk, main-main di rumah sini," ujar sang bapak. Tidak ada nada marah. Tidak terlihat menegur. Tidak pula mencela apa pun. Andrew merasa nyaman.

Andrew masih SMA berumur 15 tahun saat itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: