Oleh: Dahlan Iskan.
Itu bukan
guyon. Kalimat itu diucapkan Menko Luhut Binsar Panjaitan di depan presiden, para menteri, gubernur, bupati, dan investor. Yakni saat Menko Marves itu berpidato di acara dimulainya pembangunan kawasan industri hijau di pantai Tanah Kuning, Kalimantan Utara.
"Sebelumnya kami tidak tahu siapa pemilik tanah kawasan ini. Ternyata milik Boy Thohir," kata Luhut.
Itulah ciri khas Luhut: blak-blakan. Tidak ada yang disembunyikan. Toh orang juga tahu. Luhut tampak sangat tangkas di umurnya yang 74 tahun. Bukan saja bicaranya, juga gerak tubuhnya. Ia sudah bangkit dari kursinya menuju podium sebelum MC selesai mengundangnya. Lalu berjalan setengah berlari. Salamnya juga simpel, yang cara Islam saja. Kata-katanya tegas dan jelas.
Luhut juga realistis. Di samping soal tanah tadi juga soal waktu. "Sejak tahun 2015, proyek ini seperti telur dan ayam. Muter-muter terus," katanya. "Investor PLTA menunggu industrinya dibangun. Investor industri menunggu listrik," tambahnya.
Maka, kata Luhut, harus dilakukan terobosan. "Sebelum PLTA jadi, sementara menggunakan PLTS dan PLTU," katanya.
Demikian juga soal pabrik baterai. Luhut sangat realistis. "Pabrik baterai yang akan dibangun di sini tidak hanya yang berbahan baku nikel. Sudah ada teknologi non-nikel yang lebih unggul," tambahnya.
Luhut melapor ke presiden bahwa investor yang hadir di acara itu adalah investor yang serius. Termasuk yang sudah nyata-nyata mau membangun smelter nikel di Sulawesi Tengah. "Ada 10 investor Tiongkok yang hadir di sini, semuanya investor serius," katanya.
Pidato Boy Thohir juga singkat dan padat. Boy memang bisa jadi jaminan proyek ini bukan kaleng-kaleng. Ia baru saja selesai membangun PLTU 2 unit masing-masing 1000 MW di Batang, Jateng: itu proyek sekitar Rp 30 triliun. Yang di pinggir utara jalan tol antara Pekalongan-Semarang itu.
Boy juga sedang membangun proyek besar di Kaltara yang
engineering-nya dilaksanakan oleh salah satu BUMN –sejak sebelum kabinet ini.
"Saya juga sudah bicara dengan Pak TP Rahmat dan Pak Edwin Soeryadjaya. Kami akan merehabilitasi 5.000 hektare hutan bakau di sini," katanya. Dua nama itu adalah
partner Boy Thohir di PT Adaro, produsen batu bara terbesar di Indonesia.
Di acara minggu lalu itu hanya ada pidato Boy dan Luhut. Lalu pidato Presiden Jokowi. Tidak ada pidato dari pejabat daerah –Bupati Bulungan maupun Gubernur Kaltara.
Di lokasi acara tampak sudah ada berderet
solar cell baru. Rupanya belum ada listrik di situ. Pengeras suara dan komunikasi dilistriki dari
solar cell itu.
Wartawan
Disway Kaltara Khajjah Rohmah, datang ke acara itu lewat darat. Dia bersama pejabat daerah ke sana. Naik mobil dari Tanjung Selor. Selama 3 jam. Tanjung Selor adalah ibu kota Kabupaten Bulungan, sekaligus ibu kota Provinsi Kaltara.
Presiden Jokowi tiba di lokasi dengan helikopter. Demikian juga Boy dan para menteri. Lokasi ini memang jauh dari mana-mana.
Apalagi lokasi PLTA-nya nanti. Makanya membangun PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) di hulu Sungai Kayan itu sulit. Juga sangat mahal. "Biayanya bisa USD 10-15 miliar," ujar Luhut. Itu berarti sekitar Rp 150 triliun. Untuk PLTA-nya saja.
Bandingkan dengan PLTU 2000 MW milik Boy tadi. Yang ''hanya'' Rp 30-an triliun.
Dari segi waktu juga beda jauh. Perkiraan saya, PLTA Kayan itu baru akan selesai 10 tahun lagi. Itu pun baru yang 600 MW. Untuk bisa lebih dari itu perlu membangun PLTA lagi di lokasi lebih hilirnya.
Itu mirip proyek Asahan di Sumut. Yakni di hulu Sungai Asahan. Yang mendapat aliran air dari Danau Toba.
PLTA Asahan-1 –yang paling dekat Danau Toba– berkapasitas 600 MW. Listriknya dialirkan khusus untuk pabrik aluminium milik Jepang di pantai Tanjung Balai.
Itulah yang membuat pabrik aluminium Jepang tersebut berhasil: dapat listrik murah. Padahal tidak ada bahan baku aluminium di Asahan.
Listrik murah lebih menentukan daripada bahan baku –pun bila harus didatangkan dari luar negeri.
Pola Asahan itu yang kelihatannya akan dipakai di KIPI Kaltara. Menurut Boy Thohir, di KIPI juga akan berdiri pabrik aluminium. Tentu orang bertanya-tanya: dari mana bahan bakunya. Itu tidak penting. Yang penting listrik murahnya.
Apa itu KIPI? Saya juga baru tahu: Kalimantan Industri dan Pelabuhan Internasional. Pun sebelum saya hafal singkatan itu kini diganti menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia disingkat KIHI.
"Ini kawasan industri hijau terbesar di dunia," ujar Boy.
Tentu kalau PLTA-nya sudah jadi kelak. Terutama kalau sudah dibangun Kayan 2 dan 3.
Di Asahan sendiri, belakangan, sudah dibangun PLTA Asahan 2 dan 3. Posisinya beberapa kilometer di hilir Asahan 1. Yang listriknya untuk masyarakat Sumut –lewat PLN.
Pabrik aluminium Jepang itu sendiri kini sudah sepenuhnya milik BUMN: PT Inalum.
Di PLTA Kayan 1 nanti tentu tidak akan mengulang Asahan 1. Yang semua listriknya untuk industri. Desa-desa di sekitar Asahan 1 gelap gulita. Dalam kontrak jual-beli listrik Kayan 1 nanti, bisa disisihkan beberapa sendok listrik untuk masyarakat sekitar.
Saya pun menerima beberapa pertanyaan dari masyarakat di Kaltara: apakah proyek ini akan jadi?
Saya justru balik bertanya: "Kenapa ada pertanyaan seperti itu," tanya saya.
"Tahun 2015 Presiden juga meresmikan proyek besar di Kaltim. Sampai sekarang tidak jadi," katanya.
Saya tahu itu: proyek kereta api. Tepatnya kereta api batu bara. Mungkin juga, yang dimaksud itu, kawasan ekonomi khusus Maloy. Yang sangat tersendat. Yang akan ada pabrik semen Tiongkok di situ. Juga akan ada pabrik metanol milik grup Bakrie.
Tapi yang di Kaltara ini, kelihatannya, urusannya bisa lebih simpel: hanya perlu berurusan dengan satu orang pemilik tanahnya.
(Dahlan Iskan)