"Kak Alwy itu kan orang Banjar. Lahir di kampung apa?" tanya saya.
Kak Alwy tidak segera menjawab. Ia memperbaiki posisi corong oksigen yang menutup hidungnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu yang lama tersimpan hanya di pikirannya.
"Saya lahir di Sengkang...." katanya.
"Haaaahhhhhh.....?" seru saya spontan. "Jadi... Pian itu bukan orang Banjar?" tanya saya seperti tidak percaya.
"Umur 40 hari saya dibawa bapak dan ibu ke Samarinda ini," jelasnya.
Ayahnya pedagang eceran. Di Pasar Pagi. Di pinggir sungai Mahakam. Memang banyak orang Sulawesi jadi pedagang di pasar itu. Mereka dikenal sebagai pekerja keras. Juga sering berkelahi. Sesekali ada peristiwa saling bunuh. Saya yang memberitakannya.
Ia tumbuh, besar, sekolah di Samarinda. Ia sekolah di Normal Islam Samarinda saat SD dan SMP. Setamat SMAN Kak Alwy kuliah di Unair Surabaya. Belum lagi setahun, ia mendapat kabar: ada akademi perniagaan dibuka di Banjarmasin. Tiga tahun sudah bisa lulus.
Kak Alwy ingin cepat lulus. Maka ia pindah ke Banjarmasin. Setahun kemudian akademi itu dilebur menjadi fakultas ekonomi Universitas Lambung Mangkurat. Tiga tahun kemudian ada mahasiswi masuk fakultas baru itu: itulah yang kelak jadi istri Kak Alwy.