Dengan persetujuan Sukarno, PKI memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” yang terdiri dari pendukung bersenjata mereka. Namun, para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI berusaha menghindari bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer.
Mereka berupaya menjaga “kepentingan bersama” antara polisi dan rakyat. Pemimpin PKI, D.N. Aidit, mengilhami slogan “Untuk Ketenteraman Umum Bantu Polisi”.
Pada bulan Agustus 1964, Aidit mengimbau semua anggota PKI untuk menjaga hubungan yang baik dengan angkatan bersenjata dan mengajak para pengarang dan seniman sayap kiri untuk membuat karya-karya yang mendukung “massa tentara”.
Di akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965, terjadi gerakan petani yang merampas tanah dari para tuan tanah besar.
Bentrokan besar terjadi antara petani dan polisi serta pemilik tanah.
Untuk mencegah konfrontasi revolusioner semakin berkembang, PKI mengimbau pendukungnya untuk tidak
menggunakan kekerasan terhadap pemilik tanah dan meningkatkan kerja sama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada awal tahun 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
PKI menjawab dengan memasuki pemerintahan secara resmi. Pada saat yang sama, para jenderal militer juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI duduk di sebelah petinggi militer dalam kabinet Sukarno dan terus mendorong citra bahwa angkatan bersenjata adalah bagian dari revolusi demokratis rakyat.
7 Perwira Gugur Dalam Peristiwa G30SPKI
Dalam peristiwa Gerakan 30 September PKI, terdapat tujuh perwira tinggi militer Indonesia tewas sebagai hasil dari serangan yang terjadi. Para perwira yang gugur itu ialah
-Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani- Mayor Jendral Raden Soeprapto
- Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono
- Mayor Jendral Siswondo Parman