Virus Taki

Virus Taki

Oleh: Dahlan Iskan

INI virus baru yang akan dijalarkan di Indonesia: virus baik. Namanya: Review. Dicoba di dua desa: Sriharjo dan Guwosari. Bantul. Yogyakarta.

Virus itu sudah mewabah di Jepang. Setiap proyek pemerintah di-review oleh masyarakat. Baik proyek pusat maupun daerah. Setelah berjalan di sana lebih 15 tahun, kini dicoba diterapkan di Indonesia. Yang membawa virus itu ke sini adalah seorang wanita bernama Taki Kitada. Dari Japan Initiative. 

Japan Initiative adalah sebuah LSM independen di sana. Ia masuk ke Indonesia lewat Bappenas. Lembaga seperti Bappenas harusnya memang berkepentingan agar semua proyek pemerintah tepat sasaran. Juga bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat.

Acara review itu berlangsung satu jam. Di Jepang. Juga di Bantul. Malam hari. Agar yang diundang bisa hadir semua. Tempatnya di balai desa.

Ada dua proyek pemerintah pusat di desa itu yang dicoba di-review: perbaikan rumah kumuh dan penambahan gizi pada balita.

Kepala desa harus bisa menjelaskan apa manfaat proyek seperti itu. Bagi rakyatnya. Apakah sebanding dengan anggaran yang disediakan.

Di Jepang seluruh anggaran proyek memang jadi proyek. Tidak ada, misalnya, yang mengalir seperti air Bengawan Solo yang sampai jauh. Pun ke mana-mana. Di sana review bisa lebih fokus ke manfaat dan tepat sasaran.

Memang program review ini tidak mempersoalkan ada atau tidaknya sebagian anggaran yang mengalir ke Bengawan Solo. Review ini hanya khusus menilai tepat tidaknya sasaran. Lalu bermanfaat atau tidak bagi rakyat. 

Dalam acara satu jam itu dua ahli diminta menilai isi pemaparan kepala desa. Satu dari Bappenas. Satunya lagi dari Universitas Gadjah Mada. 

Setelah itu, empat orang perwakilan warga desa memberikan tanggapan. Empat orang itu dipilih secara acak.

Semua itu harus selesai dalam satu jam. Tidak sampai membuat penduduk yang hadir jenuh. 

Ada 30 penduduk desa yang diundang untuk mendengarkan semua itu. Mereka juga dipilih secara acak. Mereka harus menilai pembicaraan itu tapi tidak boleh ikut bicara.

Di akhir acara diedarkanlah formulir. Khusus untuk 30 orang yang tidak boleh ikut bicara. Mereka diminta mengisi formulir. Diminta memilih. Pilihannya ada tiga: proyek itu tepat dan harus dilanjutkan; proyek seperti itu tidak tepat sasaran dan tidak dirasakan manfaatnya. Harus dihentikan. Pilihan ketiga: proyek tersebut tepat tapi harus disempurnakan.

Suara pun dihitung di papan tulis. Seperti menghitung hasil Pilkada. Suara terbanyak di Srihajo adalah:  tepat sasaran tapi harus disempurnakan. Juara dua: tepat dan dirasakan manfaatnya. Yang memilih tidak tepat dan harus dihentikan hanya dua suara.

Di desa Guwosari –yang diselenggarakan besok malamnya– juga sama. 

Untuk bisa menyelenggarakan acara review seperti itu mereka dilatih dulu. Maklum, baru pertama. Japan Initiative melatih mereka. Bekerja sama dengan Yayasan Tifa Yogyakarta.

Jauh sebelum menyelenggarakan acara di Bantul itu Taki Tikada ke rumah saya. Dia dipilih Japan Initiative untuk mengemban misi itu di Indonesia. Saya sudah kenal Taki sejak lama sekali. Lebih 30 tahun. Sejak masih sama-sama muda. Dia juga pernah menemani saya ke Kochi. Yakni satu pulau yang juga satu provinsi Kochi. Letaknya di selangkangan teluk Osaka. Ada tiga jembatan panjang menuju pulau Kochi sehingga tidak terasa sebagai pulau terpisah. 

BACA JUGA:Membaik Memburuk

Pekan lalu Taki-san ke rumah saya lagi. Mampir. Dia menjajaki kemungkinan pelaksanaan review serupa di Surabaya. 

Taki-an juga sudah ke Pariaman, Sumatera Barat. "Pak Bupati Pariaman juga antusias. Beliau minta dilakukan di sana," ujar Taki-san.

Taki pintar berbahasa Indonesia. Dia pernah jadi dosen sastra Jepang di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dua setengah tahun mengajar di sana. Sekalian berkenalan dengan bahasa Indonesia. 

Taki lalu bekerja di kedutaan Jepang di Jakarta. Dan sekarang jadi freelancer untuk banyak lembaga di Jepang, terutama yang ada hubungan dengan Indonesia.

Saya ajak Taki ikut bangun subuh di Surabaya. Sekalian ikut senam dansa bersama grup olahraga saya. Yakni di halaman Rumah Gadang yang luas yang dibangun masyarakat Minang di Jatim. 

Taki juga selalu membantu sekolah putri di Padang Panjang. Diniyah Putri. Sekolah itu, kata Taki, yang paling sering mengirim santri ke Jepang. Tiap tahun. Studi banding. 

Para santri putri itu menyebar tinggal di rumah penduduk. Juga ke sekolah-sekolah di sana. Ke Pemda. Ke objek rekreasi setempat. Taki yang mengatur.

Di Jepang, acara review seperti itu sudah kebutuhan. Proyek-proyek pemerintah dinilai langsung oleh rakyat. Pemda-pemda yang mengadakan. 

"Kalau proyek pemerintah pusat, review dilaksanakan oleh kementerian sektoral," ujar Taki. Setiap kementerian setidaknya melaksanakan review untuk empat atau lima proyek sektoral.

Untuk proyek pusat, penilaiannya lebih luas. Yang ikut secara langsung dibatasi, sesuai kapasitas tempat, tapi siapa saja bisa mengikuti live streaming.

Kalau saja virus ini bisa meluas, berarti Taki akan lebih sering ikut senam dansa saya. Taki terlihat energik dan antusias. Saya baru tahu apa arti nama Taki Kitada setelah dia mengirim nama itu dalam huruf Jepang: 多喜北田. Saya bisa membacanya menurut cara membaca orang Tiongkok: tuo xing bei tian. 

Baik dibaca menurut cara Jepang (Taki Kitada) maupun cara Tiongkok (Tuo Xing Bei Tian) artinya sama: Banyak Bahagia (di) Utara Sawah. "Rupanya saya dulu dilahirkan di utara sawah," guraunyi. (*)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: